Sebagai Daerah yang pernah jaya akan kerajaan Islam di masa lampau, sehingga peninggalan Masjid bersejarah di Daerah Istimewa Yogyakarta masih bisa Kita jumpai saat ini. Berbagai Masjid tersebut memiliki keunikan dan sejarahnya masing-masing yang menjadi saksi bisu adanya kerajaan Islam di tanah Jogja. Keberadaan dan sejarah Masjid tersebut patut untuk diketahui oleh generasi saat ini agar mengetahui sejarah dibalik pembangunan Masjid tersebut.
Sejarah selalu menyertai perjalanan hidup Masyarakat, meski pada kenyataannya hanya sebagian kecil saja dari orang-orang yang menjadi bagian yang memahami perjalanan sejarah. Begitu pentingnya sejarah bagi pembangunan hidup sebuah daerah atau negara, sehingga sudah sepatutnya berbagai peninggalan seperti Masjid harus dipertahankan arsitektur bangunannya, nilai history nya dan harus dipelajari juga history tersebut.
Pada artikel kali ini, Kami akan memberikan ulasan kepada Anda tentang Masjid bersejarah di Jogja dan keunikan bangunannya. Cukup banyak Masjid bersejarah dan unik di Jogja, namun hanya beberapa Masjid saja yang akan Kita bahas.
Masjid Mataram
Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Masjid Gedhe Mataram berlokasi di Jalan Masjid Besar, Dusun Sayangan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Karena lokasi Masjid ini yang berada di perbatasan Kecamatan Kotagede, Kota Jogja dan Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul maka banyak dari Masyarakat yang menyebut sebagai Masjid Gedhe Mataram atau Masjid Gedhe Kotagede.
Masjid Gedhe Mataram Kotagede merupakan bagian dari konsep catur gatra tunggal atau empat kesatuan, yakni Keraton, Masjid, Alun-alun, dan Pasar. Masjid ini dibangun pada tahun 1587 M oleh Raja Pertama Mataram Islam, yakni Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Bangunan hingga sekarang masih dipertahankan seperti bentuknya terutama atap bangunan Masjid, pintu gerbang bagian utara yang belum pernah melalui tahap renovasi.
Mempertahankan bentuk bagian sebagai upaya akulturasi budaya masyarakat bukanlah tanpa alasan. Dipertahankannya corak akulturasi juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam mengingat pada saat itu mayoritas masyarakat masih menganut animisme dan dinamisme. Pada saat itu masyarakat sulit menerima ajaran Islam. Penyebaran agama Islam dengan pendekatan budaya inilah yang digunakan dan menjadi ciri khas dari Sunan Kalijaga. Hingga akhirnya juga diterapkan dalam menyebarkan agama Islam di tanah Mataram.
Masjid Sultoni Wotgaleh
Masjid Sulthoni Wotgaleh berlokasi di Jalan Raya Berbah, RT.05/RW.038, Dusun Mereden, Desa Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid ini dibangun pada tahun 1592 M. Dimensi dari masjid ini adalah panjang 18,6 meter dan lebar 10,8 meter. Masjid ini dilengkapi dengan lima pintu dengan 3 menghadap ke timur dan masing masing satu ke arah utara dan selatan, dengan ukuran masing masing pintu sebesar 125 cm untuk lebar dan ketinggian 190 cm dengan dominasi cat hijau dan putih.
Menurut cerita, Pangeran Purbaya adalah Pangeran Perang yang dulu melawan penjajah Belanda. Pangeran Purbaya tidak mudah dikalahkan dengan senjata apapun karena setiap beliau ditembak pun tidak berbekas atau kebal. Sepeninggalan Pangeran Purbaya kemudian di dekat makam beliau didirikan Masjid yang dinamai Wotgaleh yang berarti kulit yang mengelupas dari Pangeran Purbaya.
Situs Masjid Agung Mataram Pleret
Masjid Agung Mataram Pleret sudah tidak utuh seperti Masjid Gedhe Mataram. Hanya sisa-sisa bangunan yang sekarang dijadikan sebagai Situs Masjid Agung Kauman Pleret. Situs ini berlokasi di Dusun Kauman, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini cukup dekat dengan Museum Sejarah Purbakala Pleret sekitar 500 meter ke arah utara Museum.
Pembangunan Masjid Agung Mataram Pleret disebutkan dalam bagian Serat Babad Momana bahwa pada bulan Muharram tahun 1571 H atau sekitar 1649 M. Keberadaan bangunan Masjid ini berdampingan dengan pemakaman. Tidak jauh dari kompleks makam terdapat dua buah pohon randu raksasa yang berumur ratusan tahun dan diperkirakan seumuran dengan umur Masjid Agung Mataram Pleret.
Masjid Kauman
Masjid Gedhe Kauman
Masjid Gedhe Kauman berlokasi di sebelah barat laut Kraton Jogjakarta atau barat Alun – Alun Utara Keraton, Jalan Kauman, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid Gedhe Kauman adalah Masjid tertua yang dibangun oleh Kerajaan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kasultanan Jogjakarta.
Masjid Gedhe Kauman dibangun setelah Sri Sultan Hamengku Buwana I selesai membangun Kraton baru, sebagai pusat pemerintahan baru hasil dari perundingan Giyanti (13 Februari 1755). Perundingan Giyanti merupakan penyelesaian akhir konflik internal Kerajaan Mataram akibat intervensi Belanda, sehingga Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat.
Dengan demikian, maka pada tahun 1773 M, Sri Sultan Hamengku Buwana I berhasil membangun Masjid yang diberi nama awal dengan Masjid Gedhe, kemudian Masjid ini dikenal pula dengan nama Masjid Agung dan Masjid Besar. Pada akhir ini ditetapkan sebagai Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun letak Masjid Gedhe di sebelah, juga di barat Alun-alun Jogjakarta.
Dari segi bangunan, Masjid Gedhe Kauman masih mempertahankan nilai arsitekturnya hingga saat ini, seperti serambi Masjid, bagian dalam Masjid, desain podium yang menarik, atap Masjid, dan bagian-bagian lainnya yang berbeda dengan Masjid pada umumnya.
Masjid Kuncen Wirobrajan
Masjid Kuncen berlokasi di Jalan Jalan Masjid Kuncen, Kelurahan Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid Kuncen diperkirakan sudah berdiri pada tahun 1800 M bersamaan dengan pembangunan Masjid kuno Yogyakarta lainnya yakni Masjid Gedhe Kauman. Terdapat komplek makam di belakang Masjid Kuncen yang di dalamnya terdapat makam dari abdi dalem Keraton Yogyakarta yakni Nyi Ageng Derpoyudo dan pahlawan nasional seperti H.O.S Cokroaminoto.
Nama masjid diambil dari nama dusun dengan tujuan mengenang adanya sejarah perjuangan kemerdekaan di daerah tersebut. Selain karena bangunan Masjid Kuncen adalah milik Keraton Yogyakarta, masjid ini juga merupakan tempat perlindungan warga dari serangan penjajah pada masa perjuangan kemerdekaan. Warga Dusun Kuncen bekerja sama untuk merawat dan melestarikan bangunan Masjid milik Keraton Yogyakarta ini dengan tetap mempertahankan bentuk asli Soko Guru atau tiang penyangga di ruang tengah Masjid, Mustaka atau Kubah Masjid dan juga penggunaan bedug serta kentongan untuk penanda masuknya waktu sholat.
Masjid Pakualaman
Masjid Besar Pakualaman
Masjid Besar Pakualaman berlokasi di Jalan Sewandanan, Desa Gunungketur, Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid ini didirikan pada Tahun Jawa 1767, bertepatan dengan Tahun 1839 Masehi, atas perintah Sri Paku Alam II. Proses pendirian Masjid Besar Pakualaman tidak dapat dilepaskan dari jejak sejarah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Natadiningrat. Ia menjadi penerus tahta kedua di Puro Pakualaman dengan gelar lengkap Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Sri Paku Alam II. Sebelumnya, ia juga diangkat menjadi Pangeran Suryaningrat oleh ayahnya, GPA Paku Alam I.
Secara umum, Masjid ini memiliki dua bagian utama, yakni ruang serambi dan ruang utama. Di ruang utama, terdapat mimbar Masjid yang terbuat dari kayu jati dengan kualitas terbaik, dan berwarna kuning muda, serta memiliki ornamen khas Yogyakarta di bagian atapnya. Mimbar Masjid ini juga memiliki tiga buah anak tangga dengan lapisan permadani berwarna hijau. Secara spontan, ketiga anak tangga ini mengingatkan penulis terhadap tiga tahapan perjalanan rohani umat Islam, yakni Iman, Islam dan Ihsan.
Masjid Pakualaman Girigondo
Masjid Pakualaman Girigondo berlokasi di Jalan Girigondo, Dusun Balong, Desa Kaligintung, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid Pakualaman Girigondo dikenal juga dengan nama Masjid Puro Pakualaman atau Masjid Girigondo. Didirikan sekitar awal tahun 1900 an, Masjid ini dibangun untuk menampung sekitar 200 jamaah.
Luas bangunan Masjid Pakualaman Girigondo mencapai 450 meter persegi, di atas sebuah lahan seluas 5.000 meter persegi. Ciri khas bangunan klasik Masjid Pakualaman Girigondo yaitu soko guru, berupa empat tiang di bawah atap joglo yang konon menjadi peninggalan Wali Songo. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu jati yang masih dipertahankan hingga kini. Detail Masjid Pakualaman Girigondo, terutama corak dan bentuknya, juga masih dipertahankan meskipun bangunan ini telah melalui renovasi berkali-kali.
Demikian pembahasan mengenai beberapa Masjid bersejarah dan serta keunikan arsitektur bangunanya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Semoga informasi yang Kami berikan diatas dapat menambah wawasan Anda. Agar Anda tidak penasaran, bisa mengunjungi secara langsung beberapa Masjid bersejarah diatas menggunakan jasa tour dan travel Jogja ketika berada di Jogjakarta.